Kathur Suhardi : Pegiat Bekam Steril
Posted by admin in Profil on 07 15th, 2010 | one response
Hal tersebut dialami Kathur Suhardi, praktisi Thibbun Nabawi
(kedokteran nabawi) kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, 51 tahun silam. Di
klinik Assabil Holy Holistic miliknya, Kathur pernah mendeteksi empat
orang pasien pengidap HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired
Immuno Deficiency Syndrome). Penyakit mematikan yang belum ditemukan
obatnya.
Parahnya, ketika diperiksa, keempat orang itu tidak mengaku sebagai
penderita HIV. Bahkan langsung meminta dibekam di kliniknya. “Padahal,
hepatitis saja kita harus menggunakan alat (bekam) sendiri,” kata
Kathur. Setelah melakukan irodologi (diagnosa melalui pengamatan iris
mata) dan berbagai pengamatan, Kathur mengetahui sang pasien menderita
HIV. “Akhirnya mereka mengaku sendiri,” kata Kathur.
Yang dikhawatirkan Kathur adalah munculnya infeksi nosokomia. Yakni
penularan penyakit melalui fasilitas kesehatan akibat tidak
diterapkannya standar sterilisasi alat.
Dari kasus tadi, Kathur mendapatkan pelajaran berharga. Bagaimana
jadinya kalau sang peng-hijamah (orang yang membekam) tidak punya sarana
diagnosis penyakit ketika menghadapi pasien macam itu? Apalagi sang
pengidap HIV juga tampak bugar dan muda pula.
“Maka ketika seorang peng-hijamah tidak mempunyai sarana diagnosis
penyakit, lalu dia membekam yang kebetulan pasiennya adalah penderita
HIV. Kemudian kop itu langsung digunakan lagi untuk membekam pesien yang
lain, maka dia akan menularkan HIV dari satu orang ke orang lainnya,”
ujar Kathur mewanti-wanti.
Inilah yang membuat Kathur sangat khawatir dengan praktek bekam yang
tidak memenuhui standar operasional medis dan sterilisasi. Menurut
Kathur, melakukan sterilisasi tidak harus menggunakan alat sterilizer.
Bisa juga, kata Kathur, digunakan alternatif lain dengan melakukan
sterilisasi basah. Yakni dengan mengukus semua alat-alat bekam yang
telah digunakan selama 10 menit di atas air yang sudah dididihkan paling
kurang 20 menit.
“Bukan dicemplungkan, tapi dikukus. Ini akan efektif sekali membunuh
virus atau bakteri sporosidal (jamur) yang ada dalam alat-alat bekam,
yang tidak bisa lepas jika hanya dengan alkohol,” jelasnya.
Dari Buku
Kathur sendiri bukanlah seorang dokter atau pernah kuliah di fakultas kedokteran. Namun, produktivitasnya menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia, mengantarkannya kepada thibbun nabawi. Di antara buku yang dia terjemahkan adalah Asy-Syifa’ min Wahyi Khatamil Anbiya’ karangan Syaikh Aiman bin Abdul Fattah, yang terbit tahun 2002.
Kathur sendiri bukanlah seorang dokter atau pernah kuliah di fakultas kedokteran. Namun, produktivitasnya menerjemahkan buku-buku berbahasa Arab ke bahasa Indonesia, mengantarkannya kepada thibbun nabawi. Di antara buku yang dia terjemahkan adalah Asy-Syifa’ min Wahyi Khatamil Anbiya’ karangan Syaikh Aiman bin Abdul Fattah, yang terbit tahun 2002.
Melalui buku, pria yang telah menerjemahkan 310 judul buku berbahasa
Arab ini, terus mempelajari secara intens metode hijamah, sistem
imunitas, dan praktek thibbun nabawi lainnya yang belum banyak dikenal
di Indonesia. Bersama sang istri, Aminah Syafa’ah, yang sempat mengenyam
pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
Kathur mulai melakukan percobaan-percobaan teknik dan titik-titik
hijamah.
Kasus pertama yang ditanganinya, adalah penyakit varises yang dialami
seseorang dari kelurganya sendiri. Setelah dua kali dibekam varisesnya
sembuh total. Kemudian, dia juga melakukan pengobatan kepada pasien yang
mengalami sakit pusing-pusing, diabetes melitus (gula darah tinggi),
dan juga demam berdarah.
“Saya sendiri terkena demam berdarah. Luar biasa, semua penyakit
tersebut bisa disembuhkan (dengan izin Allah) lewat pengobatan hijamah,”
ungkap ayah dari Althof Fathon Amsaka (19 tahun), Azha Azuna Amsaka (14
tahun), dan Zid Mazadana Amsaka (8 tahun).
Kathur dan beberapa timnya terus melakukan eksperimen. Bersamaan
dengan itu, dia juga mendalami ilmu anatomi, fisiologi, dan patologi
lewat buku-buku kedokteran yang diborongnya. Selain itu, ia juga
melakukan diskusi dengan dokter-dokter.
Pelopor Bekam Steril
Setelah melakukan penelitian dan percobaan selama kurang lebih dua tahun, pada tahun 2005, Kathur dan istri melahirkan karya berupa panduan anatomi titik-titik bekam.
Setelah melakukan penelitian dan percobaan selama kurang lebih dua tahun, pada tahun 2005, Kathur dan istri melahirkan karya berupa panduan anatomi titik-titik bekam.
“Kita pada prinsipnya hanyalah mendakwahkan pengobatan Nabi. Terutama
untuk membantu kepada para peng-hijamah yang lain tentang pentingnya
memahami titik-titik bekam sesuai dengan kasus yang dialami pasien,”
jelas pria humoris yang pernah meraih predikat penerjemah terfavorit
berdasarkan pilihan pengunjung Islamic Book Fair di Istora Senayan,
Jakarta.
Tentang bekam steril, Kathur menjelaskan, kerangka berpikirnya bahwa
hijamah adalah proses pengeluaran darah. Kalau ada pengeluaran darah,
artinya sudah masuk kategori bedah minor (minor surgery). Dalam praktik
bedah minor, maka harus mengikuti acuan standar operasional prosedur
(SOP).
Kathur melanjutkan, untuk bedah minor, standarnya berkaitan dengan
alat hijamah yang harus steril, desinfeksi yang berkaitan sterilisasi di
ruang bekam, dan alat pembersih darah harus steril. Serta alat-alat
lain yang mendukung semua SOP untuk praktik bedah minor.
Peng-hijamah juga harus memakai sarung tangan steril (medical gloves)
dan masker. Yang lebih penting lagi, kata Kathur, tidak boleh sembrono
dalam menggunakan alat-alat hijamah.
Dia mencontohkan, kop yang steril tidak boleh kehilangan
sterilitasnya dengan menempatkannya di tempat yang tidak steril, atau
mengambil alat-alat yang steril tadi dengan alat dan cara yang tidak
steril.
“Langsung dicomot, maka itu tidak steril. Kop sudah jatuh, terus kop
digunakan lagi untuk membekam, maka itu juga sudah menggugurkan standar
sterilisasi,” ujar lulusan Institut Pendidikan Darusslam Gontor ini.
Kathur kemudian mengutip Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa, “Barangsiapa yang berani
mengobati, padahal dia tidak punya kapabilitas keilmuan tentang
pengobatan, maka dia harus bertanggung jawab.”
Kini, Klinik Assabil Holy Holistic yang dirintis Kathur sejak tahun
2002 telah mengantongi izin operasional dari Dinas Kesehatan Jakarta
Timur dengan dibantu 12 orang karyawan. Assabil Holy Holistic juga telah
mendapatkan izin dari Dinas Pendidikan untuk penyelenggaraan pelatihan
dan pendidikan hijamah.
“Pihak Dinkes mendapat masukan tentang standar sterilisasi bekam dari
saya, mereka tidak tahu. Maka saya dijadikan mitra kerja Dinkes tentang
prosedur perizinan praktik bekam,” kata Kathur yang juga menjadi staf
ahli redaksi di beberapa penerbit di Jakarta.
Sejak bulan Juni 2004 hingga sekarang, Assabil Holy Holistic telah 84
kali menyelenggarakan pelatihan hijamah, dengan lebih 5.000 orang
peserta. Kata Kathur, kebanyakan peserta pelatihan mempraktekkan hijamah
untuk kebutuhan diri dan keluarga, hanya sedikit yang membuka klinik
bekam sendiri.
Sampai saat ini, Assabil sudah menangani sekitar 4.000 pasien. Untuk
terus memasyarakatkan metode pengobatan hijamah, setiap hari Jumat pukul
18.30 sampai 19.00 WIB, Kathur siarang langsung di stasiun JakTV. Pada
acara ini, Kathur membahas seputar Thibbun Nabawi Holy Holistic yang dia
terapkan.
“Saya sangat senang hijamah sudah menyebar di mana-mana. Namun, dari
sisi positif kita harus tetap mendukung standar operasional medis
terutama sterilisasi,” pungkasnya. *Ainuddin Chalik, Surya
Fachrizal/Suara Hidayatullah JUNI 2010